Jika

Minggu, 17 Desember 2023 08:57 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apa yang ada pada kita sekadar label untuk dilihat, diakui, dikagumi, dan dipuji orang. Beragama dengan model seperti ini sungguh sangat dangkal, hampa, dan sia-sia!

Misal

Misal Aku datang ke rumahmu

Dan kamu sedang khusyuk berdoa

Akankah kau keluar dari doamu

Dan membukakan pintu untukKu?

 

(Jokpin, 2016).

 

Puisi Joko Pinurbo berjudul Misal di atas termasuk puisi pendek. Judulnya hanya terdiri dari satu kata pendek dan isi puisi pun hanya terdiri dari 4 baris yang pendek-pendek. Namun, ketika membaca puisi ini, kita dihadapkan pada imaji yang panjang. Dan penulis yakin, rumusan puisi ini berasal dari permenungan yang tidak pendek. Sebab, pada puisi ini, Joko Pinurbo menuliskan inti litani hidupnya dalam pencarian dan perumusan terkait perjalanan spiritualitasnya. Kata “misal” bisa disepadankan dengan kata “jika” . Keduanya menyajikan pilihan. Bedanya, pada kata “jika” menghadirkan syarat. Pilihannya adalah: mana yang dipilih, menemui sesuatu yang sedang dicari, atau tetap meneruskan pencarian dengan mengabaikan sesuatu yang dicari itu? Untuk bisa menjawab ini perlu kata ‘jika’.

Puisi Misal karya Joko Pinurbo ini adalah puisi yang sederhana. Sama sederhananya dengan kehidupan kita sebagai manusia. Pengkajiannya pun tidak perlu teori yang berbau filosofis, mistis, atau pun teologis. Kita bisa membacanya dengan cara yang sederhana. Bukankan rumus cara penafsiran puisi itu adalah suka-suka yang bertanggung jawab?  Setidaknya, begitulah pandangan yang mendasari penulis terhadap anasir puisi ini, dan tertarik untuk menyajikan penafsiran itu dalam teks singkat ini.

Misal, kita sangat suntuk bekerja agar bisa minum kopi, tapi kita sendiri belum pernah melihat kopi atau belum pernah secara  sadar mengetahui bahwa benda yang kita lihat sehari-hari itu bernama kopi, atau kita sering menikmati rasa kopi tetapi kita tidak tahu bahwa apa yang kita rasakan itu adalah kopi. Lalu, tiba-tiba ada orang yang tidak kita kenal datang membawakan secangkir kopi untuk kita minum, apakah kita langsung mau meminumnya? Nah, mau menerima atau tidak itu tergantung ‘jika’. Jika kita tahu bahwa apa yang disodorkan orang itu adalah segelas kopi, kita akan dengan serta merta dan bersuka cita menerimanya. Namun, jika kita belum tahu bahwa apa yang ada di depan kita itu adalah kopi, eit tunggu dulu. Kita bisa menolaknya dan bahkan mencurigai kopi itu adalah racun.

Kata Aku dan -Ku diawali huruf besar. Ini harus dibedakan dengan kata ganti lain yang digunakan dalam puisi itu: kamu, mu, dan kau yang yang semuanya diawali dengan huruf kecil. Dalam EYD diatur bahwa kata Tuhan dan kata lain yang merujuk pada nama Tuhan harus diawali dengan huruf kapital. Maka, ini jelas bahwa “Aku” di sini merujuk pada Tuhan. Sedangkan kamu, mu, kau itu adalah kita, manusia.

Rumahmu di sini berarti manusia dengan aktivitas hiudupnya. Puisi “Misal” ini bisa diparafrase sebagai berikut untuk membuat menjadi lebih konkret. /Misal Aku datang ke rumahmu/ (misalkan Tuhan datang ke dalam hidupmu atau mendatangi kamu) / Dan kamu sedang khusyuk berdoa/(saat kamu khusyuk berdoa yang menurutmu berbicara sedang dengan serius berbicara kepada Tuhan itu)/ Akankah kau keluar dari doamu/ (apakah engkau akan meninggalkan aktivitas doa yang kau percaya sebagai bentuk komunikasi dengan Tuhan itu/Dan membukakan pintu untukKu?/ (dan melangkahkan kaki untuk membukakan pintu agar Tuhan masuk dalam hati menemuimu)?

Jawabannya akan tergantung pada ‘jika’. Jika orang yang sedang khusuk berdoa itu tahu bahwa yang datang itu adalah Tuhan yang ia carai-cari selama ini, ia akan segera membukakan pintu dan datang dengan suka cita menyambut Tuhan: menemui, berjabat tangan, memeluk, menciumi, atau menyembah-nyembah-Nya. Tetapi jika orang itu tidak paham bahwa yang datang itu adalah Tuhan yang ia cari-cari dalam doanya, ia akan menolak, mengunci pintu agar lebih rapat, agar yang datang itu tidak masuk. Tuhan yang datang itu dianggap sebagai pengganggu doa atau pencuri, maka diabaikan atau kalau perlu diusir.

Nah, secara konkret lagi begini. Kita ini orang beragama. Semua agama mengajarkan untuk mempercayai Tuhan dengan segala sifat-Nya. Sebagai orang yang beragama dan mempercayai Tuhan, kita diwajibkan untuk berdoa secara teratur, sungguh-sungguh, benar, dan khusyuk. Jika perlu, setiap saat kita harus mengucap nama Tuhan dan mengucap syukur pada-Nya. Ini adalah jalan hidup manusia yang harus dilewati sebagai orang beragama yang percaya pada Tuhan dengan segala sifat-Nya itu. Jika orang berada dalam kondisi seperti ini, kita menyebutnya sebagai orang beriman.  

Hidup adalah doa itu sendiri. Lalu, jika pada suatu ketika, misal,  kita bertemu dengan seorang janda tua yang miskin di jalanan untuk meminta-minta sedekah pada kita. Ia meminta uang seikhlas kita untuk membeli makan karena sedang kelaparan. Apa yang akan kita lakukan? Memberi, mengabaikan, atau malah mengusir nenek itu?

Jika kita tahu dan percaya bahwa Tuhan ada dalam sosok nenek itu, atau mengasihi orang miskin lemah tak berdaya adalah mengasihi Tuhan itu sendiri, kita pasti akan berusaha memberi apa yang kita punya dengan penuh syukur dan suka cita. Namun, jika pemahaman kita terhadap Tuhan tidak sampai di situ, tidak sampai pada penghayatan nyata, bisa jadi kita akan mengabaikan atau bahkan mengusir nenek tua itu. Nah, dengan demikian, kata ‘jika’ menjadi prasyarat dari apa jawaban atau pilihan kita terhadap kata “misal” karya Joko Pinurbo itu.

Artinya, sehebat apa pun pengakuan kita sebagai orang beragama atau sebagai tokoh agama sekalipun, sesering dan sekhusyuk apa pun kita berdoa, jika dalam kehidupan sehari-hari abai atau tak peduli terhadap kesulitan, duka lara, kesedihan, dan penderitaan orang lain, pengakuan kita itu sia-sia. Kita belum sampai pada pemaknaan yang sesungguh-sungguhnya terhadap beragama, ber-Tuhan, dan berdoa. Apa yang ada pada kita sekadar label untuk dilihat, diakui, dikagumi, dan dipuji orang. Beragama dengan model seperti ini sungguh sangat dangkal, hampa, dan sia-sia! 

Puisi Misal di atas sebenarnya mempertanyakan bagaimana seharusnya hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan juga manusia dengan alam sekitarnya. Oleh karena itu, puisi ini masuk dalam jenis puisi religi. Menurut Driyarkara, religi adalah suatu kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan yang harus dilaksanakan, yang kesemuanya itu berfungsi untuk mengikat dan mengukuhkan diri  seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia, serta alam sekitar.

Sementara itu, Erich Fromm dalam hal ini menyampaikan bahwa manusia harus mengembangkan kemampuan akal budinya agar dapat memahami dirinya sendiri, relasinya dengan sesamanya dan letaknya dalam tatanan semesta. Manusia harus mengenali kebenaran, baik yang terkait dengan keterbatasannya maupun dengan segala potensinya. Lebih dari itu, kemampuannya untuk mencintai manusia lain yang diwujudkan dalam tindakan konkret pun harus berkembang, sejalan dengan kemampuannya mencintai dirinya sendiri dan pengalaman religinya.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Fabian Satya Rabani

Pelajar, model, dan atlet tinggal di Bandung, Jawa Barat. IG: @satya_rabani

0 Pengikut

img-content

Saat Gibran Bikin ‘Mati Kutu’ Lawan Debatnya

Minggu, 24 Desember 2023 21:26 WIB
img-content

Jika

Minggu, 17 Desember 2023 08:57 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua